Profil

Rabu, 14 Januari 2015

Saya ingin berbagi sebuah postingan dari seorang ibu rumah tangga berinisial AA. Semoga bermanfaat :)

Tadi pagi sambil sarapan pagi, saya dan suami nonton acara pengajian di Indosiar yang berkonsep 'curhat' ibu-ibu. Pertanyaan-pertanyaan yang ada segera dijawab oleh sang ustadzah dengan meyakinkan.
Ada satu adegan dimana layar proyektor menampilkan pertanyaan secara langsung dari seorang imigran wanita yang bekerja di Taiwan, ia bertanya 2 hal pada sang ustadzah.

Penanya:
Mah, saya sudah kerja 3 tahun jadi TKW di Taiwan. Setiap bulan saya mengirim uang hasil kerja saya ke suami di kampung. Tapi ternyata waktu pulang kemaren, saya baru tau ternyata uang yang saya kirim dipake suami saya buat.....

Ustadzah:
kawin lagi? (potong beliau)

Penanya:
Bukan, tapi dipake buat judi. Saya sediiiih sekali. Lalu karena kecewa, saya langsung balik ke Taiwan lagi. Suami minta maaf dan minta saya balik ke kampung lagi. Tapi saya belum bisa memaafkan. Pertanyaan saya, apa saya salah dan berdosa karena belum memafkan suami saya, Mah?

Ustadzah:
Tidak!! yang Anda lakukan sudah benar. Yang salah itu suami Anda karena sudah kurang ajar. Sudah ngga bisa ngasih makan istri, eh duit istri diembat juga. (jawab beliau dengan tegas dan lantang)

Penanya:
Trus saya harus gimana, Mah.

Ustadzah:
Gugat cerai saja!! Anda cari dua orang saksi yang bisa bersaksi di pengadilan bahwa suami Anda suka judi.

Penanya:
Cerai ?!! Kan suami saya udah minta maaf.
(ujarnya dengan melas, mungkin berharap sang ustadzah mengubah 'fatwa'-nya)

Ustadzah:
Orang kalau sudah tau judi itu ngga bakal kapok-kapok. Sekali judi dia bakal judi lagi dan lagi. Jadi perempuan itu harus punya harga diri.

(Refleks, saya dan suami saya saling berpandangan. Kemudian menghela nafas sambil geleng-geleng kepala).
Setelah itu, penanya mengajukan pertanyaan kedua, kemudian terjadi lagi dialog antara dia dan sang ustadzah.
Penanya:
Mah, saya kan tinggal di Taiwan. Orang sini banyakan bukan muslim. Yang jual ayam potong agamanya kristen. Boleh ngga saya beli ayam disitu?

Ustadzah:
Tidak boleh. Jangankan dipotong oleh orang kristen, hewan yang dipotong sama orang Islam aja kalau ngga pake 'bismillahirrohmanirrohim' itu juga haram. Karena sama aja itu bangkai !!

(Sekali lagi, kami menghela nafas)
Setelah layar proyektor ditutup, ada satu lagi pertanyaan dari ibu-ibu yang hadir di studio.
Si ibu:
Mah, saya datang dari Pasuruan tadi malam. Datang ke Jakarta selain untuk menghadiri acara ini, saya dan rombongan rencananya tidak akan langsung pulang ke Pasuruan, tapi masih mau jalan-jalan dulu di Jakarta ini selama 2 hari. Nah, selama 2 nanti kami boleh nggak ya menjamak dan meng-qashar shalat?

Ustadzah:
Tidak boleh !! Musafir itu hanya boleh jamak dan qoshor sholat selama di perjalanan. Kalo sudah sampe tujuannya ya nggak boleh jamak dan qoshor lagi. Jadi, ibu boleh jamak dan qoshor selama di jalan dari Pasuruan menuju ke Jakarta saja, dan juga kalau nanti sudah ada di perjalanan pulang dari Jakarta menuju Pasuruan. Tapi selama 2 hari jalan-jalan di Jakarta ya ngga boleh jamak dan qoshor.

Si ibu:
Ngga ada pendapat ulama lain ya Mah?

Ustadzah:
Ada, Ulama yang kedua mengatakan bahwa yang boleh jamak dan qoshor itu kalau ibu bepergian ngga putus-putus. Misalnya ibu bepergian dari Pasuruan ke Jakarta trus ke Pasuruan lagi tanpa putus-putus. Dengan syarat bepergiannya nggak lebih dari seminggu.

(Saya dan suami makin bengong. Suami ambil remote, lalu ganti channel. Sedangkan saya hanya menatap miris deretan kitab Fiqih yang ditulis oleh ulama-ulama mulia yang menghabiskan hidupnya untuk mencintai ilmu).

Dialog diatas mengingatkan saya pada Imam Malik yang memilih untuk menjawab "Tidak tahu" atau "Saya belum bisa menjawabnya" saat beliau dimintai fatwa namun belum yakin mengenai jawaban yang tepat untuk permasalahan sang mustafti (yang meminta fatwa).

Tingginya ilmu Imam Malik, Dan besarnya nama beliau, tidak membuat diri beliau malu untuk menjawab "tidak tahu". Karena bagi beliau, lebih baik tawaqquf daripada salah memberi fatwa.

Beliau menjawab 'tidak tahu' bukan karena dangkalnya ilmu, melainkan karena sikap berhati-hati. Dan sikap inilah yang justru meninggikan kemuliaan diri beliau.

Salah memberi fatwa tidak hanya berakibat fatal bagi pemberi fatwa, namun juga berdampak besar bagi ummat yang menjadi pengikutnya.

Wallahu A'lam

Selasa, 30 Desember 2014

Indahnya Bersyukur

IMAM Al-Ghazali menjelaskan bahwa cara bersyukur kepada Allah SWT terdiri dari empat komponen, yaitu:

1. Syukur dengan Hati. Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang kita peroleh, baik besar, kecil, banyak maupun sedikit semata-mata karena anugerah dan kemurahan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Segala nikmat yang ada pada kamu (berasal) dari Allah,” (QS. An-Nahl: 53)
Syukur dengan hati dapat mengantar seseorang untuk menerima anugerah dengan penuh kerelaan tanpa menggerutu dan keberatan, betapa pun kecilnya nikmat tersebut. Syukur ini akan melahirkan betapa besarnya kemurahan dan kasih sayang Allah sehingga terucap kalimat tsana’ (pujian) kepada-Nya.

2. Syukur dengan Lisan.
Ketika hati seseorang sangat yakin bahwa segala nikmat yang ia peroleh bersumber dari Allah, maka spontan ia akan mengucapkan “Alhamdulillah” (segala puji bagi Allah). Karenanya, apabila ia memperoleh nikmat dari seseorang, lisannya tetap memuji Allah. Sebab ia yakin dan sadar bahwa orang tersebut hanyalah perantara yang Allah kehendaki untuk “menyampaikan” nikmat itu kepadanya.

“Al” pada kalimat “Alhamdulillah” berfungsi sebagi “istighraq” yang mengandung arti keseluruhan. Sehingga kata alhamdulillah mengandung arti bahwa yang paling berhak menerima pujian adalah Allah S.W.T, bahkan seluruh pujian harus tertuju dan bermuara kepada-Nya. Oleh karena itu, kita harus mengembalikan segala pujian kepada Allah.

Pada saat kita memuji seseorang karena kebaikannya, hakikat pujian tersebut harus ditujukan kepada Allah S.W.T. Sebab, Allah adalah Pemilik Segala Kebaikan.

3. Syukur dengan Perbuatan.
Syukur dengan perbuatan mengandung arti bahwa segala nikmat dan kebaikan yang kita terima harus dipergunakan di jalan yang diridhoi-Nya. Misalnya untuk beribadah kepada Allah, membantu orang lain dari kesulitan, dan perbuatan baik lainnya. Nikmat Allah harus kita pergunakan secara proporsional dan tidak berlebihan untuk berbuat kebaikan.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menjelaskan bahwa Allah sangat senang melihat nikmat yang diberikan kepada hamba-Nya itu dipergunakan dengan sebaik-baiknya.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah senang melihat atsar (bekas/wujud) nikmat-Nya pada hamba-Nya,” (HR. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr).

Maksud dari hadits diatas adalah bahwa Allah menyukai hamba yang menampakkan dan mengakui segala nikmat yang dianugerahkan kepadanya. Misalnya: Orang yang kaya hendaknya membagi hartanya untuk zakat, sedekah dan sejenisnya. Orang yang berilmu membagi ilmunya dengan mengajarkannya kepada sesama manusia, memberi nasihat, dsb. Maksud membagi diatas bukanlah untuk pamer, namun sebagai wujud syukur yang didasaari karena-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur),” (QS. Adh-Dhuha: 11).

4. Menjaga Nikmat dari Kerusakan.
Ketika nikmat dan karunia didapatkan, cobalah untuk dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Setelah itu, usahakan untuk menjaga nikmat itu dari kerusakan. Misalnya: Ketika kita dianugerahi nikmat kesehatan, kewajiban kita adalah menjaga tubuh untuk tetap sehat dan bugar agar terhindar dari sakit. Demikian pula dengan halnya dengan nikmat iman dan Islam, kita wajib menjaganya dari “kepunahan” yang disebabkan pengingkaran, pemurtadan dan lemahnya iman.

Untuk itu, kita harus senantiasa memupuk iman dan Islam kita dengan shalat, membaca Al-Qur’an, menghadiri majelis-majelis taklim, berdzikir dan berdoa. Kita pun harus membentengi diri dari perbuatan yang merusak iman seperti munafik, ingkar dan kemungkaran.

Intinya setiap nikmat yang Allah berikan harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Allah S.W.T menjanjikan akan menambah nikmat jika kita pandai bersyukur, seperti pada firmannya: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-KU), sungguh adzab-Ku sangat pedih,” (QS. Ibrahim: 7).

Keep Istiqomah :)
Semoga Bermanfaat :)

Jumat, 10 Oktober 2014

Hati dan pikiran

Hati dan pikiran itu ibarat stir mobil dan remnya. Keduanya saling membutuhkan dan berhubungan. Bagaimana tidak, jika hanya ada stir dan tidak ada rem maka mobil lepas kendali dan sulit untuk mengurangi kecepatan bahkan sulit untuk berhenti.Begitu juga jika hanya ada rem tetapi tanpa dilengkapi stir, bagaimana mobil bisa menentukan arah perjalanan.Keduanya arus bisa berkesinambungan, paham akan fungsi masing-masing. Tak jauh berbeda dgn hati dan pikiran tadi, ketika hati merasa maka kendalikan perasaan itu dengan pemiikiran yang bijak. Sabar, ikhlas dan rendah hati insyaAllah itu penawarnya. Masih ingat dengan lirik lagu ini ? "Jagalah hati, jangan kau kotori. Jagalah hati cahaya Illahi." Kendalikan perasaan yang ada dalam benak hatimu, yang mungkin mengganggu jalannya pikiranmu. Selalu berpikir positif dalam setiap perasaan mungkin itu akan lebih bijak. Jangan simpan perasaan-perasaan negatif dalam hatimu, ibarat 1 gelas berisi air jernih lalu kau masukkan 1 tetes tinta hitam. Air dalam gelas itu pasti akan keruh. Begitu juga dengan hatimu, jagalah kemurniaannya. Tetapi ingatlah ketika stir mobil dan rem itu bersama ada 1 lagi yang harus melengkapinya,yaitu kopling. Dengan kopling kita bisa mengendalikan kecepatan, seberapa cepat kita menempuh perjalanan. Tapi kembali lagi kopling itu hanya akan berfungsi ketika ada stir dan rem. Dan penegndali kecepatan dalam diri kita adalah Akhlaq. Kenapa Akhlaq ?? karena dengan akhlaq kita bisa bermain sistem kendali dalam diri pribadi kita sendiri. Seberapa jauh kita melangkah untuk melakukan sesuatu, akhlaq berperan penting didalamnya. Misalnya seperti ini, ketika hati kita merasa ingin mencapai sesuatu, otak kita berpikir bagaimana cara dan jalan untuk mencapainya. Tentu banyak cara dan banyak pilihan cara, ada cara A, B, C, D dst. Tetapi dari sekian banyak cara tidak semua cara bisa terdiri dari sebab dan akibat yang baik. Nah disinilah akhlaq berfungsi sebagaimana semestinya, ia kan menimbang, memperhatikan dan menyaring dari segala kemungkinan. Maka milikilah hati, pikiran serta akhlaq yang baik, agar jalan yang kau tempuh dapat mencapai tujuan yang baik dan hasilnya sesuai dengan apa yang kmau inginkan. Semoga bermanfaat, Jazakallah khairan :)